Laman

Sabtu, 28 Februari 2015

Peran Pengelolaan Wilayah Pesisir Pulau Terluar dalam Menjaga Wilayah Laut Indonesia


Indonesia pada saat merdeka pada tahun 1945 memiliki luas wilayah pesisir yang lebih kecil dibandingkan dengan luas yang ada pada saat ini. Hal itu disebabkan karena Indonesia masih mengikuti aturan yang ditetapkan oleh Belanda yaitu mengklaim laut sejauh 3 mil diukur dari garis pantai masing-masing pulau. Hal ini dinilai merugikan bagi Indonesia karena Indonesia merupakan negara yang terdiri dari banyak pulau yang terpisah satu sama lain. Pada saat itu, apabila kita ingin berpergian dari satu pulau ke pulau lain misalnya dari Jawa ke Kalimantan harus melewati laut bebas / laut internasional. Selain itu dari segi kedaulatan dan keamanan negara hal ini tentu tidak menguntungkan bagi Indonesia karena wilayah pesisir Indoesia akan mudah terancam oleh bahaya dari negara lain karena jarak antara laut teritorial dan laut internasional sangat sempit. 

Oleh karena itu Perdana Menteri Indonesia, Djoeanda Kartawidjaja melakukan diplomasi melalui Deklarasi Djoeanda (1957). Akhirnya setelah melalui perjuangan diplomasi yang cukup panjang Indonesia berhasil diakui statusnya sebagai negara kepulauan dengan disepakati nya UNCLOS III tahun 1982. Dengan ini wilayah kedaulatan Indonesia termasuk perairan yang berada di antara pulau-pulau dan batas luar wilayah kedaulatan laut Indonesia dihitung dari pulau terluar wilayah Indonesia. Bersamaan dengan itu wilayah Indonesia menjadi bertambah luas dari 2 juta kilometer persegi bertambah 4 kali lipat menjadi 8 juta kilometer persegi. Indonesia membagi wilayah laut sedikitnya menjadi 3 bagian yaitu :
  • Laut Teritorial dihitung 12 mil dari garis surut air laut terendah
  • Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE) dihitung 200 mil dari garis surut air laut terendah
  • Landas Kontinen sesuai Perjanjian dengan negara tetangga / persetujuan PBB



UNCLOS III telah mengakui Indonesia sebagai negara kepulauan. Definisi negara kepulauan adalah negara yang luas daratan berbanding lautan adalah lebih kecil dari 1:9. Dengan diakuinya Indonesia sebagai negara kepulauan membuat Indonesia berhak mengklaim laut diantara pulau-pulaunya sebagai wilayah Indonesia. Hal ini memberikan kewajiban bagi bangsa Indonesia untuk menjaga perairan yang lebih luas dari sebelumnya. Untuk menjaga perairan yang sedemikian luas selain diperlukan pengawasan khusus secara langsung juga dapat dilakukan dengan pengelolaan wilayah pesisir yang baik terutama wilayah pesisir yang berada di perbatasan terluar wilayah Indonesia. Pengelolaan wilayah pulau terluar setidaknya membawa tiga misi yaitu : 1) menjaga keutuhan NKRI ; 2) pemanfaatan SDA dalam rangka pembangunan berkelanjutan; 3) memberdayakan masyarakat dalam rangka meningkatkan kesejahteraannya 

Misi pengelolaan wilayah pulau terluar dalam rangka menjaga keutuhan NKRI dapat dijelaskan sebagai berikut. Berdasarkan UNCLOS III tahun 1982 batas wilayah Indonesia ditentukan oleh pulau-pulau terluar sebagai  titik  dasar  dari  garis  pangkal  lurus  kepulauan  Indonesia  dalam  penetapan wilayah  perairan  Indonesia,  zona  ekonomi  ekslusif  Indonesia,  dan  landas  kontinen Indonesia. Apabila wilayah pesisir pulau terluar tidak dikelola dengan baik atau bahkan malah ditelantarkan bukan tidak mungkin negara lain akan mengakui wilayah tersebut dan mengakibatkan berkurangnya wilayah laut Indonesia. Hal ini sangat disayangkan karena perjuangan untuk mendapat wilayah laut yang ditetapkan sekarang tidaklah mudah bagi Indonesia. Perlu perundingan diplomatik yang cukup panjang untuk meyakinkan negara lain tentang konsep dan gagasan Indonesia dalam menentukan wilayah laut sehingga perlu dipikirkan pengelolaan wilayah pesisir yang optimal sebagai upaya melanjutkan perjuangan mempertahankan wilayah laut Indonesia.


sumber :
http://syukuridrus.blogspot.com/2013/02/pengelolaan-dan-pengembangan-pulau.html
I Made Andi Arsana. “Memagari Laut Nusantara”
I Made Andi Arsana. “Memahami Wawasan Nusantara dan Evolusi Wilayah Laut Indonesia”. Bahan Kuliah Pengelolaan Wilayah Pesisir Jurusan Teknik Geodesi Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada
 

Jumat, 20 Februari 2015

Aeronautical Chart dan Perannya di Dunia Penerbangan

Berawal dari perjalanan pulang kampung juli 2013. Saat itu saya memilih terbang dengan penerbangan komersial untuk pulang ke Jambi. Selain cepat biaya yang dihabiskan juga tidak jauh berbeda dengan perjalanan darat karena saya saat itu menggunakan pesawat Low Cost Carrier (LCC) berlogo singa.

Perjalanan udara dari Yogyakarta ke Jambi harus dilakukan dalam 2 kali flight. Yang pertama Yogyakarta(JOG)-Jakarta(CGK) melalui jarak sekitar 551 km dengan durasi penerbangan kurang lebih 50 menit. Lalu transit dilanjutkan perjalanan Jakarta(CGK)-Jambi(DJB) selama kurang lebih 1 jam 20 menit menempuh jarak 600 km. Cukup lama untuk duduk diam di pesawat LCC yang jarak antar seat nya sempit dan tidak ada Audio-Video on Demand di Pesawat. Kebanyakan waktu di pesawat saya habiskan dengan membaca, melihat pemandangan di luar ataupun berpikir melamun.

Dari situlah saya terpikir untuk membuat tulisan di blog ini, dari lamunan saya di pesawat mungkin yang terkesan lugu dan awam sekali. Di tengah langit yang luas ini yang tidak selalu cerah kadang hanya ada awan gelap kok pesawat bisa menemukan bandara yang berada nun jauh di bawah sana. Ilmu apa yang dimiliki pilot sehingga bisa mendaratkan si burung besi dengan aman dan selamat di bandara tujuan.

Jawabannya saya temukan di internet, sebagai anak geodesi kita patut berbangga karena pilot bisa mengetahui semua komponen itu dari peta, ternyata dunia penerbangan juga telah berpikir secara Geospasial. Peta yang dimaksud bukan peta dunia sebagaimana yang ada di atlas-atlas ataupun peta topografi digital yang dibuat sebagai tugas akhir mata kuliah Survey Digital di Semester III. Apalagi peta seperti kartun dora di televeisi bukan peta seperti itu. Peta yang digunakan untuk navigasi di dunia penerbangan adalah aeronautical chart.

Aeronautical map adalah peta yang didesain untuk membantu navigasi dari pesawat. dengan menggunakan chart ini dan peralatan lain, pilot dapat menentukan posisi mereka, ketinggian yang aman dan jalur terbaik untuk sampai ke bandara tujuan, bandara terdekat saat keadaan darurat dan juga batas wilayah udara serta frekuensi radion ATC.

Aeronautical Map terbagi menjadi 3 bagian berdasarkan skalanya yaitu :
1. World Aeronautical Charts (WACs) yang punya skala 1: 1.000.000 dan mengkover wilayah yang luas.

2. Sectional charts, dengan cover area 340 x 340 miles dan punya skala 1:500.000

3. VFR Terminal Area Charts yang di desain untuk skala dan coverage area seluas bandara besar (1:250.000)

Bisa dibayangkan pilot tanpa aeronautical map bagaikan hidup tanpa cinta pesawat yang kehilangan arah dan tujuan. Sekarang terjawab lah sudah kenapa pesawat di udara tidak tersesat di langit yang luas, kita cukup berfikir secara geospatial maka permasalahan tersebut dapat dijawab.

Your Sky is so big but my plane is so small

Salam Geodesi keep think geospatially



Muhammad Ghaly Kurniawan

sumber :
en[dot]wikipedia[dot]org/wiki/Aeronautical_chart




Pengaruh Perubahan UU nomor 27 tahun 2007 menjadi UU nomor 1 tahun 2014 Terhadap Pengelolaan Wilayah Pesisir


sumber : kotabalikpapan.net


sumber : teknologitepatgunakepri.blogspot.com

Gambar manakah yang dapat dikategorikan sebagai wilayah pesisir dari kedua gambar diatas ? Berdasarkan UU Nomor 1 tahun 2014 tentang perubahan atas UU Nomor 27 tahun 2007 tentang pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil mendefinisikan wilayah pesisir sebagai daerah peralihan antara Ekosistem darat dan laut yang dipengaruhi oleh perubahan di darat dan laut. Jadi kedua gambar tersebut termasuk kategori wilayah pesisir. 

Berdasarkan uraian singkat diatas bila dicermati terdapat perubahan terhadap undang-undang mengenai pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil dari UU Nomor 27 tahun 2007 dirubah menjadi UU Nomor 1 tahun 2014. Maksud dilakukannya perubahan tersebut karena UU Nomor 27 tahun 2007 belum memberikan kewenangan dan tanggung jawab negara secara memadai atas pengelolaan perairan pesisir dan pulau-pulau kecil sehingga beberapa pasal perlu disempurnakan sesuai dengan perkembangan dan kebutuhan hukum di masyarakat.

Beberapa perubahan yang dicantumkan di UU Nomor 1 tahun 2014 antara lain Pada pasal 1 angka 1 ditambahkan kata-kata pengkoordinasian sebelum kata-kata perencanaan, pemanfaatan, pengawasan, dan pengendalian sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil. Lalu ditambahkan kata-kata yang dilakukan oleh pemerintah dan pemerintah daerah. Saya menginterpretasi maksud perubahan ini adalah dalam pengelolaan pesisir dan pulau-pulau kecil diperlukan koordinasi antara pemerintah dan pemerintah daerah serta antarsektor, antara ekosistem darat dan laut serta antara ilmu pengetahuan dan manajemen dalam kegiatan perencanaan, pemanfaatan, pengawasan, dan pengendalian sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat.

Perubahan lain yang perlu dicermati juga adalah penghapusan Hak Pengusahaan Perairan Pesisir (HP3) pada pasal 1 angka 18 diganti dengan izin lokasi dan ditambahkan di angka 18A yaitu izin pengelolaan. Izin lokasi ini ditegaskan dengan pasal 16 ayat (1) yang berbunyi :

"Setiap Orang yang melakukan pemanfaatan ruang dari sebagian Perairan Pesisir dan pemanfaatan sebagian pulau-pulau kecil secara menetap wajib memiliki Izin Lokasi."

Jadi kepemilikan Izin Lokasi mutlak untuk setiap orang yang akan memanfaatkan wilayah pesisir.  Perubahan juga dilakukan pada pasal 18 sehingga berbunyi sebagai berikut :

"Dalam hal pemegang Izin Lokasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1) tidak merealisasikan kegiatannya dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun sejak izin diterbitkan, dikenai sanksi administratif berupa pencabutan Izin Lokasi."

Dengan penyempurnaan tersebut, memberikan kepastian hukum dan sanksi terhadap pengelolaan wilayah pesisir, dimana wilayah pesisir harus dilakukan dengan baik dan kegiatan yang nyata sehingga diharapkan nantinya tidak ada wilayah pesisir yang tidak terkelola dengan baik. Karena apabila wilayah pesisir tidak dilakukan kegiatan pemanfaatan sumber daya pesisir sebagaimana mestinya sesuai dengan pasal 18 UU nomor 1 tahun 2014 izin lokasi nya dapat dicabut.

Dengan dilakukan perubahan UU Nomor 27 tahun 2007 menjadi UU Nomor 1 tahun 2014 diharapkan pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil di Indonesia menjadi lebih baik. Tidak ada lagi wilayah pesisir Indonesia yang tidak terkelola dengan baik mengingat sebagian besar masyarakat Indonesia bermukim di wilayah pesisir maka terkelolanya wilayah pesisir secar terintegrasi dan lebih baik diharapkan menjadi cerminan peningkatan kualitas kehidupan masyarakat indonesia menjadi lebih baik.